Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Top Ad

//

Breaking News:

latest

Ritus Liyan: Superposisi Pesisir Resmi Dihadirkan Sebagai Ruang Eksplorasi

PROGRAM kolaboratif yang digagas oleh AIIOC dan Biennale Jatim XI, Ritus Liyan: Superposisi Pesisir resmi dihadirkan sebagai ruang eksploras...

PROGRAM kolaboratif yang digagas oleh AIIOC dan Biennale Jatim XI, Ritus Liyan: Superposisi Pesisir resmi dihadirkan sebagai ruang eksplorasi yang memperluas peran seni, tidak hanya sebagai produk estetika, tetapi sebagai instrumen analitis dan medium produksi pengetahuan. Program ini, tidak hanya mengartikulasikan batas antara daratan dan laut, melainkan ruang dialog berbagai kepentingan, memori, dan identitas yang saling tumpang tindih.


Pasalnya, di kawasan Kelurahan Lumpur, Kabupaten Gresik—lokasi utama pelaksanaan program—lanskap geografis dan ekologis tak dapat dipisahkan dari sejarah dislokasi, tekanan industrialisasi, serta upaya keberlanjutan hidup warga. Pesisir pun diposisikan sebagai medan tafsir kuratorial, tempat seni bekerja untuk menjalin relasi antara ruang, tubuh, dan memori dalam wujud pengetahuan yang cair, berlapis, dan terus dinegosiasikan.

Tema superposisi (konsep dalam fisika kuantum) dihadirkan sebagai lensa konseptual untuk memahami bagaimana ruang dan identitas pesisir terbentuk melalui negosiasi makna yang kompleks dan berlapis. Dalam konteks ini, seni tidak diarahkan untuk menciptakan kebenaran tunggal, melainkan mengungkap kenyataan yang saling tindih—antara yang terasa, yang terluka, dan yang tertinggal.

Superposisi menjadi metafora atas benturan spasial dan historis; tubuh sebagai penyimpan ingatan; serta trauma dan cerita yang terus diperjuangkan maknanya. Ritus Liyan: Superposisi Pesisir dihadirkan untuk memperluas peran seni yang mampu merumuskan ulang relasi antara seniman, warga, dan ruang hidup pesisir.

Warga tidak lagi diposisikan sebagai objek representasi, tetapi sebagai ko-kurator untuk membangun ruang perjumpaan yang sejajar—di mana pengetahuan lokal, ritus keseharian, dan strategi bertahan hidup warga menjadi landasan penciptaan karya seni yang partisipatoris dan kontekstual. Pendekatan ini, mengusung refleksi kritis terhadap praktik kesenian itu sendiri, agar praktik kesenian tidak terjebak pada estetisasi penderitaan atau eksploitasi simbolik atas pengalaman warga, melainkan membuka ruang refleksi etis dan dialogis atas kompleksitas kehidupan pesisir.


Sebanyak sembilan peserta dari berbagai latar belakang disiplin seni terlibat dalam program ini, didampingi oleh lima mentor berpengalaman di bidang riset, artistik, dan kuratorial. Selama lima hari sejak 28 April - 2 Mei 2025, terbuka ruang dialog yang intensif antara warga, seniman, dan mentor—sebuah upaya kolaboratif untuk menelusuri, merefleksikan, dan mengartikulasikan pengetahuan lokal warga.

Rangkaian proses ini berpuncak pada pameran yang diselenggarakan pada 30 Mei 2025 di Kelurahan Lumpur, Kabupaten Gresik. Karya-karya yang lahir dari program ini, diharapkan mampu merefleksikan Superposisi antara lanskap industri dan lanskap batin: antara material seperti tanah, lumpur, dan air, dengan simbolik seperti ingatan, cerita lisan, dan trauma ekologis.

Disinilah seni menjadi bahasa yang lentur—mengikat yang tercerai, merayakan yang rapuh, dan menggugat yang dominan. Melalui kerja-kerja ini, Superposisi Pesisir memperlihatkan bagaimana ruang dapat dipulihkan bukan hanya sebagai tempat, tetapi sebagai pengalaman yang dinamis dan kolektif.

Keberlangsungan dari program ini, memainkan peran strategis sebagai pondasi awal bagi pengembangan riset kuratorial Biennale Jatim XI, yang secara tematik memfokuskan perhatian pada wilayah pesisir.

Program ini tidak hanya menjadi prototipe metodologis yang mengedepankan keterlibatan warga dan praktik transdisipliner, tetapi juga berfungsi sebagai medan tafsir keragaman praktik kebudayaan pesisir di berbagai wilayah Jawa Timur—ruang dimana sejarah, identitas, dan potensi artistik berkelindan dalam negosiasi yang terus berlangsung.